Mencari Pemahaman tentang Presbiter
Paper Kuliah Teologi Imamat (Dr. Purwanto, SCJ)
Oleh Ag. Handi Setyanto FT 2581
Kata presbiter di sini jelas menunjuk pada imamat jabatan. Siapakah mereka? Untuk apa mereka ada? Untuk menjawabnya, tulisan ini menampilkan paham presbiter yang tidak hanya bertindak in persona Christi tetapi juga in persona ecclesia..
Untuk itu, tulisan ini dimulai dengan kata Gereja. Gereja adalah komunikasi iman dalam Kristus agar Kristus sebagai terang para bangsa bersinar pada wajah Gereja dan menerangi semua orang. Untuk cita-cita ini, Gereja memerlukan pelayan iman. Presbiter adalah pelayan iman Gereja. Presbiter diberi tugas dan kuasa untuk mewartakan Injil atas nama Gereja agar umat dapat merealisasikan fungsinya sebagai sakramen cinta kasih Allah yang menyelamatkan manusia. Jabatan presbiter ini sekaligus memperoleh dasar pada panggilan dan pengutusan dari Yesus Kristus. Presbiter dipanggil dan diutus oleh Kristus, serta berpartisipasi dalam imamat Kristus. Dalam pengertian ini, presbiterat merupakan suatu pelayanan tertentu dalam umat yang berasal dari panggilan dan pengutusan khusus oleh Kristus. Penggabungan dua corak pandangan mengenai presbiterat ini, eklesiologis dan kristologis, memperkaya wawasan presbiterat zaman modern ini. Maka, mendesaklah untuk didapatkan: presbiter masa kini, yakni imam yang kristologis dan eklesiolgis!
Orangnya Yesus Sekaligus Gereja : Sengkut- gumregut dalam Kinerja Allah
Allah memiliki proyek di dunia untuk memberikan keselamatan bagi manusia yakni kehidupan bersama-Nya. Untuk selama-lamanya, Allah menegakkan proyek keselamatan ini dalam hidup, karya, dalam wafat dan kebangkitan Kristus (bdk. Ef 1,3). Dalam karya-Nya, Yesus memanggil murid-murid untuk terlibat dalam karya perutusan-Nya (Mrk 3:13-19). Para presbiter-lah pribadi yang terpanggil dan terjaring dalam proyek (kerja) ini, yakni agar kabar gembira keselamatan sampai pada semua orang di sepanjang sejarah. Dalam pengertian ini, sosok presbiter adalah seorang pekerja (aktif) Allah. Presbiter menjadi pribadi yang fulltimer dan fullself, masuk dalam keprihatinan hidup Allah dan kenal persis maksud hidup-Nya dalam sejarah manusia.
Oleh karena itu pula, presbiter ikut serta dalam tugas Kristus sebagai pengantara tunggal (1 Tim 2,5), yakni sebagai penghubung dalam komunikasi iman (LG no.28). Presbiter menjadi orangnya Yesus yang menjalankan ministerium melayani iman. Artinya, presbiter membantu dalam komunikasi antara umat yang percaya dan oleh karena itu presbiter membantu juga untuk mengungkapkan dan mewujudkan iman orang beriman. Presbiter menghubungkan orang ke orang kepada Allah agar dengan cara-Nya sendiri Allah menyapa atau berelasi. Maka, melalui pelayanan dan hidupnya, presbiter memperjuangkan kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus (PO no.2). Maka, presbiter yang kehadirannya membawa kesuraman tentu bukan presbiter yang membawa cerahnya wajah Allah. Dan tidak boleh terlupakan, wajah yang ditampilkannya adalah wajah Kristus Sang Sinar cerah itu. Di sinilah, istilah imam yang in persona Christi itu ditekankan. Berikutnya, selain in persona Christi, imam juga in persona ecclesia.
Oleh karena itu, pelayanan presbiter ini adalah pelayanan Gereja dalam umat, bukan pelayan yang abstrak berada di awang-awang dan tidak manjing ajur-ajer bersama umat. Presbiterat sebagai jabatan merupakan fungsi dalam Gereja dan fungsi itu adalah rohani serta termasuk inti kehidupan Gereja yang perlu untuk iman (LG no.28; PO no.6). Tentunya, fungsi imam itu berbeda dengan seorang tukang yang mempunyai fungsi menukangi pekerjaan tertentu. Kalau imam menjadi tukang (fungsi non rohani), ada bahaya bahwa ia tak ada bedanya dengan pekerja mekanistik. Sebagai contoh, imam tukang misa.
Presbiter ditempatkan dalam wibawa Gereja (“in persona ecclesia”), yakni agar berlangsunglah pengudusan oleh Kristus dalam hati umat beriman dan kesaksian tentang Yesus di dunia. Dalam kegiatan liturgi, terutama pelayanan sakramental, presbiter menjalankan wibawa itu “in persona Christi”, yakni hanya karena dalam Yesus Kristus Allah dan manusia seluruhnya berbagi hidup. Oleh karena itu, hidup dan pelayanan para presbiter hanya punya arti dalam rangka pelayanan dan hidup seluruh Gereja. Artinya, perutusan presbiterat (juga episkopat) adalah sekunder terhadap pelayanan imamat umum seluruh umat beriman (1 Ptr 2,9). Maka, adalah sesuatu yang keblinger kalau ada imam yang sok kuasa karena merasa diri “istimewa”. Padahal ia ada dalam bagian umat secara umum. Namun, inilah yang meski disadari dengan rendah hati: presbiter di dalam Gereja adalah orang-orang profesional yang membaktikan diri pada suatu kepentingan hidup kebersamaan (Gereja) dan kebersamaan (Gereja) mempercayakan kepentingan itu kepada dia.
Presbiter adalah orangnya Gereja, menjadi anggota angkatan kinerja-kerja gerejani. Maka, presbiter adalah pribadi yang dengan segala keahliannya berusaha menjalankan tugas yang menjadi tugas seluruh komunitasnya, tugas Gereja. Presbiter di dalam tugas Gereja berarti menjalankan fungsi tridharma Gereja, yang adalah misi Kristus (nabi, imam, raja), yakni : mewartakan (PO no.4), menguduskan (PO no.5), mempersatukan (PO no.6).
Pengangkatan presbiter dilakukan dengan tahbisan, suatu perayaan sakramental pembaharuan roh. Potestas sacra yang diterima dalam tahbisan ini membuat orang berdaya. Presbiter menjadi pemberian Allah kepada manusia. Tahbisan menempatkan uskup pada traditio atau succesio apostolica, dan para presbiter itu diberikan kepada uskup sebagai pembantu-pembantu. Para presbiter tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan wewenang mereka tergantung dari para uskup (LG no.28). Maka, presbiter merupakan satu presbiterium dan pelayanan dalam Gereja bersifat kolegial (LG no.22; 23). Maka, sungguh aneh jika ada imam yang berlagak seperti uskup, mendirikan keuskupan di parokinya sendiri. Perlu disadari bahwa kerja imam selalu bersifat kolegial. Kolegial ini dibutuhkan supaya injil menyangkut semua, yakni supaya semua orang dilibatkan dalam jaringan penebusan dan keselamatan. Oleh karena itu, gaya presbiter dan uskup adalah networking dalam persaudaraan (LG no.28).
Kepemimpinan Partisipatif
Kehadiran presbiter diantara komunitas umat beriman dan dunia menjadikan dirinya sebagai pribadi publik. Ini normal-normal saja karena pelayanan presbiter adalah praktik yang dikenal dalam dan melampaui umat beriman yang mereka layani. Oleh karena itu, presbiter memainkan peran kepemimpinan publik.
Tidak boleh terlupakan, kepemimpinan publik ini menegaskan gaya presbiter yang adalah partisipatif (LG no.28). Presbiter sebagai yang menerima jabatan dalam gereja, adalah orang yang secara resmi dilibatkan/dibaktikan ke dalam gerak “rohani”, yakni gerak karya kreatif Allah melalui daya kreatif manusia, yang menjadi inti hidup gereja, di-maklumkan sebagai injil, diwujudkan dalam perkumpulan umat Allah.
Mengenai kinerja seorang presbiter, presbiterat adalah pertama-tama “pelayanan suci” dalam gerakan Injil, yakni gerakan yang makin melibatkan orang dalam usaha pembebasan, terungkap dalam perayaan sakramen ekaristi, dan terwujud dalam perjuangan umat sebagai komunitas moral yang transformatif. Maka, presbiter adalah rekan sekerja umat demi keterlibatan segenap umat dalam gerak injil. Kepemimpinan presbiter hanyalah suatu fungsi sosial dalam paguyuban orang beriman (PO no.2). Dengan demikian, pada dasarnya kinerja presbiter adalah komunikasi. Kebutuhan Allah dalam hal ini adalah kebutuhan pada orang, bukan fungsi. Hanya hati seseorang yang dapat menerobos sekat-sekat birokrasi ke arah suatu pernyataan cinta.
Hanya saja, dalam kerangka mendialogkan presbiterat dengan imamat umat beriman, presbiter menjadi pribadi yang bertanggung jawab untuk terlibat dan melibatkan. Presbiter berada di tengah-tengah umat dan terlibat penuh pada kehidupan umat. Ia bertanggung jawab pada kesatuan iman, pengembangan iman, dan perjuangan hidup bermartabat umat yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, kepemimpinan presbiter adalah kepemimpinan yang partisipatif: menjalin hubungan sampai semua yang bersangkutan ambil bagian dalam pelayanan, dalam karya Kristus di dunia. Presbiter menyambungkan umat beriman satu sama lain, dengan umat para rasul, dengan orang kristiani seluruh dunia, dan dengan semua orang yang mencari Allah. Pelayanan presbiter terhadap umat menjadi bukan sebagai suatu bentuk penguasaan terhadapnya melainkan suatu pelayanan di antara macam-macam karisma dan fungsi-fungsi lainnya. Kepemimpinan ini membutuhkan pola penggembalaan yang baru, antara lain mencerdaskan umat beriman, melibatkan perempuan dan laki-laki, memberdayakan komunitas-komunitas, dan memajukan kerja sama dengan semua yang berkehendak baik.
Dalam masyarakat yang terpencar-pencar akibat modernisasi, kepemimpinan presbiter bersifat membangun jaringan. Presbiter menjadi komunikator berbagai paguyuban sehingga membangun suatu persekutuan paguyuban-paguyuban. Pelayanan model Gereja teritorial perlu disempurnakan dengan pelayanan Gereja Jaringan yang melibatkan semakin banyak orang pada jaringan penebusan dan keselamatan. Presbiter menjadi simpul dari berbagai komunitas dalam komunikasi yang lincah dan koordinasi yang luwes. Persaudaraan yang diusahakan pertama-tama demi sebuah solidaritas dalam partisipasi pada proyek Yesus Kristus yakni menegakkan Kerajaan Allah di dunia. Pewartaan sabda yang dikerjakan presbiter senantiasa memberi inspirasi bagi visi kehidupan umat beriman berhadapan dengan tanda-tanda zaman.
Kemauan Pribadi
Rahmat presbiterat diartikan sebagai penetapan untuk menjadi pelayan Kristus di antara bangsa-bangsa. Seluruh pribadi para presbiter dibaktikan pada injil dan pada persembahan (oblatio) hidup oleh seluruh umat agar berkenan kepada Allah (Rom 15,16). Oleh karena itu, dari pihak orang dituntut kesanggupan pribadi dan kepercayaan yang diandaikannya. Iman orang yang menjadi presbiter bersifat praktis: bekerja dengan Allah yang bekerja. Presbiter ‘membaktikan imannya yang paling pribadi’ dalam mempertahankan iman umat Allah.
Kesanggupan pribadi seorang presbiter terutama mengarah pada usaha menjadi orang Gereja sekaligus menjadi mandiri sendiri. Menjadi orang Gereja ini berarti presbiter dengan keberanian profetik berjerih payah untuk meningkatkan hidup gereja sekaligus aman dan gembira menerima keterlibatan banyak saudara dalam komunitas. Namun, presbiter bertanggung jawab untuk mempunyai pendapat sendiri dan berani mengambil sikap dalam Gereja untuk mendukung saudara-saudara. Oleh karena itu, presbiter mesti memberikan pelayanan mereka dalam semangat “sensus ecclesiae”, dengan rasa mendalam akan dinamika Gereja. Dinamika Gereja adalah dinamika Roh dalam sejarah manusia. Orang ditahbiskan atas dinamika itu dan tahbisan mengintegrasikan kebolehan pribadi dalam dinamika Gereja tersebut. Maka, kesanggupan pribadi orang adalah kesanggupan untuk meraih “inticimacy” dan “transcendence” sebagai ciri dasar sosok seorang imam.
Presbiter sebagai orangnya Allah dituntut untuk kristosentris, menjadikan Kristus sebagai kiblat, menjadikan Gereja dan dirinya wajah manusiawi kehadiran Allah. Hal ini menjadi tuntutan pada diri orang karena hakikat hidup presbiter adalah hidup oleh sabda agar sabda menjadi hidup pada semua orang supaya hidup ilahi ada dalam manusia.
Kesanggupan pribadi presbiter di dalam kinerja mengantar pada akuntabilitas-nya dalam karya pastoral. Presbiter bertanggung jawab dalam mengambil keputusan pastoral berdasarkan kaidah-kaidah yang obyektif. Artinya, karya pastoral presbiter perlu dilengkapi dengan keahlian, ketrampilan, pengabdian, dedikasi dan komitmen serta kesediaan selalu mau membuka mata hati. Karya pastoral presbiter ini adalah karya partisipatif pada tritugas Kristus sebagai nabi, imam, dan gembala.Oleh karena itu, karya pastoral ini semestinya dilaksanakan dengan cinta kasih pastoral.
Menjadi Pewarta Sabda
Ciri presbiter sebagai orangnya Yesus sekaligus Gereja (sekaligus in persona Christi dan in persona ecclesia), yang dengan demikian masuk dalam kinerja proyek keselamatan Allah di zaman ini adalah pewartaan sabda. Presbiter sebagai pewarta adalah pewarta kabar gembira Kristus. Pewarta berarti pembawa terang – pembawa pesan agar sabda sampai pada semua orang. Pewarta sabda dalam diri presbiter ‘menyejukkan’ dan ‘menggairahkan’ kekerdilan hidup manusia zaman sekuler yang cenderung meninggalkan Allah. Karena tugas itu berkisar pada bidang rohani, maka seorang imam juga disebut “rohaniwan” atau “guru rohani”, yakni orang yang menghargai dan mengupayakan nilai-nilai rohani lebih dari nilai-nilai duniawi. Presbiter sebagai guru rohani ini berarti pelayanan presbiter menjadi empowerment bagi para konsumen rohani.
Di tengah kemiskinan dan ketertindasan rakyat Asia, pewarta sabda (presbiter) menggerakkan semua orang, terutama umat beriman dalam Gereja, untuk bersusah payah menegakkan kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di dunia terjadi ketika manusia dihargai martabatnya, hidup dalam kesejahteraan, hidup dalam kebebasan sebagai anak-anak Allah, hidup dalam kasih Allah. Perjuangan ini masuk ke dalam perjuangan keadilan pada ekonomi pasar yang memiskinkan, agar semakin banyak orang menjadikan perdagangan sebagai sarana kasih pada sesama dan bukan pada eksploitasi manusia.
Imam Praja Bertindak in Persona Christi dan in Persona Ecclesia: Presbyter yang Presbiter menurut Aschenbrenner
Aschenbrenner memberikan penjelasan mengenai kharisma-kharisma yang menjadi sebuah gambaran identitas imam praja yang unik. Gambaran karisma-kharisma ini meliputi banyak segi yang membedakan pola hidup imam praja dengan imam religius. Kata kharisma yang dimaksud oleh Aschenbrenner menunjuk pada pengertian suatu rahmat pemberian Allah kepada seseorang. Kharisma ini tidak diberikan kepada setiap orang dan juga bukan semata-mata merupakan hasil kerja keras manusiawi. Akan tetapi, kharisma ini harus diakui keberadaannya dan dikembangkan dengan usaha jerih payah manusiawi. Kharisma digunakan untuk mendiskripsikan pengintegrasian beberapa rahmat yang diberikan Allah sebagai bukti adanya panggilan untuk menjadi seorang imam praja.
Kharisma-kharisma ini dapat dirangkum ke dalam tiga dimensi misi Yesus sebagai nabi, imam dan raja. Dari tiga dimensi ini, Aschenbrenner menjabarkannya ke dalam delapan kharisma yang menunjuk kekhasan kharisma imam praja :
a. Orang biasa yang tinggal di tengah manusia biasa
Imam praja adalah seorang awam yang ditahbiskan untuk tinggal secara intim dalam kehidupan dan keprihatinan umat sehari-hari. Ia tidak bekerja pada kelompok orang-orang tertentu, tetapi tepat di tengah kemanusiaan yang beraneka ragam. Di dalam keanekaragaman itu, ia dipanggil untuk membawa penyembuhan bagi setiap orang dan membimbing mereka sampai pada pengalaman berhadapan dengan misteri kasih Allah.
b. Selalu dipanggil menuju garis terdepan
Seorang imam praja berada di garis terdepan. Kehadiran imam-imam praja itu menjadi daya tarik dan daya pikat yang dapat menggerakkan orang-orang di sekitarnya. Kehadirannya yang penuh cinta kasih dan kerendahan hati akan membawa kegembiraan dan penghiburan bagi siapapun juga. Namun, para imam praja perlu mewaspadai bahaya selalu berbicara atas namanya sendiri dan mengagungkan diri dalam pelayanannya. Dalam perannya, berada di garis terdepan, imam dipanggil untuk selalu sadar bahwa Kristuslah yang pertama-tama diwartakan dalam pelayanannya.
c. Hidup dalam keaktifan
Kehidupan para imam praja di tengah jemaat memotivasi mereka untuk berpastoral secara dinamis. Dalam tantangan ini, para imam praja perlu mendasarkan diri pada keheningan hati sehingga keaktifan imam praja tidak hanya terfokus pada hal-hal lahiriah saja. Kedalaman keheningan dan pengalaman pribadi akan Yesus menjadi landasan pokok dalam hidup keseharian imam-imam praja.
d. Tidak dipanggil ke dalam komitmen hidup membiara
Para imam praja tidak tinggal di dalam biara. Akan tetapi, kehidupan para imam praja tidak dapat begitu saja lepas dari kehidupan imam-imam biara. Perbedaan spiritualitas antara imam praja dan imam religius bukan terletak pada tingkatannya tetapi pada keseriusan untuk menekuni spiritualitas itu. Imam praja yang serius untuk meningkatkan kehidupan spiritualitasnya akan memberikan sumbangan positif bagi pelayanan pastoral Gereja.
e. Ditahbiskan untuk menampilkan kembali Yesus sebagai Kepala Tubuh
Melalui tahbisan, para imam menerima suatu tugas-jabatan untuk menjadikan Yesus hadir dalam cara yang istimewa. Kharisma yang datang dari Kristus ini bukan otomatis tetapi harus dikembangkan dan diekspresikan dalam hidup keseharian para imam praja di tengah kehidupan konkret umatnya. Tugas-jabatan ini merupakan bagian dari identitas tahbisan imam praja. Dengan kerendahan hati, para imam praja yang bertindak in persona Christi tidak menempatkan dirinya di atas Gereja atau terpisah dari umatnya. Dengan kharisma ini, para imam melayani di dalam Gereja dan menjadi bagian dari Gereja.
f. Gaya hidup yang ditandai oleh tiga nasihat injil
Tiga nasihat injil merupakan pusat dari pewartaan injil karena diambil dari hati Yesus sebagai pribadi dan kesaksian-Nya serta menggema di dalam hati para murid yang serius mau mengikuti-Nya. Ketiganya memerankan peran unik dalam kehidupan dan pelayanan para imam praja sebagai kualitas jiwa dan identitasnya.
g. Dipanggil ke dalam relasi intim cinta kasih
Komitmen imam praja dalam ritus Barat tertuang dalam janji selibat. Janji ini manandakan seorang imam praja dengan relasi dan spiritualitas mirip relasi dan spiritualitas suami-istri. Relasi ini adalah suatu relasi yang kompleks yang menyangkut banyak aspek kehidupan. Dalam tradisi kristen yang cukup panjang, inti dari relasi ini adalah cinta kasih dan kepercayaan. Maka, selibat imam praja pun dilandaskan pada kedua aspek ini. Selibat membuat para imam mampu membagikan cinta intim dengan Yesus melalui Gereja.
h. Dipanggil ke dalam teritorial tertentu bersama umat
Imam praja berada di tengah umat keuskupan, secara khusus di suatu rumah bersama jemaat lokal. Hati setiap imam praja senantiasa merindukan untuk dapat melakukan pelayanan di tengah umat dan masyarakat di parokinya. Akan tetapi, tetap dimungkinkan para imam praja selalu siap sedia menjalankan perutusan untuk melayani umat melampaui batas-batas keuskupan bahkan negaranya. Selagi hal itu sesuai dengan visi pelayanan imam praja, tugas perutusan pelayanan di luar keuskupannya tetap dimungkinkan. Hal ini merupakan suatu kekhususan.
Imam praja secara khusus diinkardinasikan ke dalam suatu komunitas keuskupan tertentu. Walaupun ciri pelayanan imam praja terfokuskan pada keuskupan tertentu, kemampuannya harus dapat membuatnya siap untuk pelayanan yang lebih luas dalam parokinya atau dalam pelayanan-pelayanan lain di keuskupan itu.
Dimensi teritorial bagi para imam praja ini memang berakar pada relasi khusus antara imam praja dengan keuskupannya. Oleh karena itu, para uskup bertanggungjawab atas kesucian para imam sekaligus menjadikan para imamnya sebagai saudara dalam teman seperjalanan.
Akhirnya, keterpikatan hati atas kharisma ini mengundang para imam untuk tinggal di dalam rumahnya yang asli yakni tinggal di tengah-tengah umat dan masyarakat lokal. Ia dipanggil untuk menjadi kerasan berada di tengah umat, menjadi terbuka akan kehadiran mereka. Kehadirannya di tengah umat akan menambah kenyamanan imam tersebut untuk tinggal dengan dirinya sendiri. Inti dari relasi ini adalah membuat para imam menjadi murni dan nyaman di tengah para umatnya. Tanpa perasaan damai dan penerimaan diri, seorang imam akan menjadi entah inferior atau malah superior di hadapan umatnya. Yang diharapkan adalah secara asli mampu menjadi saudara bagi semuanya di dalam Yesus Kristus.
Demikianlah paparan singkat mengenai imam yang in persona Christi sekaligus in persona ecclesia sekaligus penerapannya dalam diri imam praja. Semoga bermanfaat.***
Acuan:
Dokumen Konsili Vatikan II: LG, PO
Kitab Suci Perjanjian Baru: Markus, Efesus, 1Tim, 1Petrus
George A. Aschenbrenner, SJ, Quickening the Fire in Our Midst, the Challenge of Diosesan Priestly Spirituality, Loyola Press, Chicago 2002
Konkretnya begini, Allah butuh orang-orang yang mau terlibat untuk menyelamatkan dunia, orang-orang umat Allah inilah yang diharapkan oleh Allah punya kepedulian terhadap gerak hidup Allah. Maka, bisa dikatakan bahwa Allah bukan butuh fungsi tertentu (misalnya imamat jabatan).